Ikhlas, kata yang mudah diucapkan tetapi sulit dilakukan,
sulit diwujudkan. Meskipun begitu, tidak berarti tidak ada orang ikhlas. Ikhlas bisa
diwujudkan oleh orang yang memahami dan berusaha mencapainya. “Belajar lagi ilmu ikhlas.” Kalimat ini
ditujukan kepada orang yang belum bisa ikhlas. Jadi ikhlas ada ilmunya? Ada
banyak buku dan tulisan tentang ikhlas,
apa ciri-cirinya, bagaimana mencapainya dan sebagainya. Jika ilmu ikhlas bisa
dipelajari, mengapa banyak orang sulit memraktikkannya? Adakah hal selain ilmu
yang turut menentukan pencapaian keikhlasan?
Banyak orang hanya memahami sebagian dari ilmu ikhlas,
sebagian lainnya cukup paham tetapi perlu berjuang keras untuk menerapkannya, termasuk aku.
Kita mudah bilang ikhlas, tetapi bahasa tubuh kita mengisyaratkan
sebaliknya. Ikhlas bukan sekadar ucapan. Ikhlas berasal dari kalbu, kemudian
memberi jiwa pada ucapan dan perilaku. Itu
jika ikhlasnya tak bersyarat. Kebanyakan kata ikhlas yang diucapkan tak
berjiwa. Mengambang tanpa makna. Itu
karena ikhlas ternoda dengan persyaratan. “Saya ikhlas, tapi...” Jika seseorang
mengatakan :”Saya ikhlas karena Allah.” Apakah dia tahu konsekuensinya? Bahwa
dia telah memasrahkan sesuatusepenuhnya kepada Allah? Bahwa tidak ada satu pun
syarat atasnya? Bahwa tak ada kata ‘tapi...’ sesudahnya?
Coba kita jawab pertanyaan-pertanyaan ini. Adakah satu benda
atau apapun di dunia ini yang mutlak milik kita? Tidak ada. Adakah satu benda
atau apapun di dunia ini yang tak berasal dariNya? Tidak ada. Adakah satu benda
atau apapun di dunia ini yang bukan milikNya? Tidak ada. Jadi, segala sesuatu
yang ada pada kita, keluarga, teman, harta benda, kekuasaan, udara yang kita
hirup, air yang kita minum, makanan, pakaian, semua fasilitas dan kemudahan,
semuanya bukan milik kita. Kita hanya dipinjami, kita hanya diberi hak memakai
sementara. Juga nyawa. Pantaskah kita tidak rela, tidak ikhlas, ketika Sang
Pemilik mengambil kembali sesuatu milikNya dari kita? Karena sudah habis masa
pinjaman, titipan, hak pakai sementara, atau alasan yang mungkin tidak selalu
kita pahami. Pantaskah kita tidak rela? Tidak ikhlas? Berhakkah kita? Tidak.
Ibarat kita adalah segumpal adonan roti dan Sang Pemilik
adalah pembuat roti. Untuk menjadi roti yang enak, adonan harus diuleni,
dibanting-banting, kemudian didiamkan agar mengembang. Setelah cukup mengembang
dibagi dalam gumpalan-gumpalan kecil, dibentuk sesuai kehendak pembuatnya, lalu dipanggang.
Kehidupan yang kita jalani kadang menempatkan kita pada situasi tidak
menyenangkan, menyakitkan, dihina dan difitnah, kehilangan, ketakutan,
kekurangan, kematian keluarga yang kita cintai, atau sekadar berbagi harta
benda yang kita miliki. Apakah kita jalani dengan mengeluh, menggerutu, marah?
Apa kita menerima semua ketidaknyamanan itu dengan rela?
Ikhlas adalah ukuran kedekatan seseorang dengan Tuhannya.
Makin besar kadar keikhlasan, makin dekat hubungannya. Begitu pula makin dekat hubungannya, makin ikhlas. Tak ada
manusia yang dapat mengukur kadar keikhlasan orang lain. Hanya Tuhan dan diri
sendiri yang tahu. Orang lain hanya bisa
melihat wujud keikhlasan seseorang dari perilakunya. Itu pun belum tentu
akurat, karena perilaku tidak selalu sesuai dengan isi kalbu. Tetapi yang
pasti, keikhlasan membawa ketenangan, ketenteraman dan kedamaian. Orang yang
ikhlas menjalani kehidupan dengan tenang. Cobaan dan ujian hanya membuatnya
makin merasakan kasih sayang dan kebesaran Penciptanya. Rasa sakit, kehilangan
dan kekurangan hanya membuatnya makin mengenal dan mencintai Tuhannya. Dengan
itu hidupnya terasa tenteram, terasa damai. Baginya tak perlu membalas
kejahatan, tak perlu marah karena hinaan, tak perlu takut kekurangan.
Kehidupannya adalah ladang ranjau. Keikhlasan menuntunnya melewati ranjau demi
ranjau hingga dia sampai di seberang dengan selamat. Dia hanya perlu berpegang erat pada satu tali,
tali Allah, Tuhannya. Itu cukup baginya.
Perhatikan diri kita dan orang-orang di sekitar kita. Jika
kita atau mereka masih sering mengeluh, menggerutu dan mudah marah, atau berkata :"Saya ikhlas, tapi..." Itu mungkin
karena kita dan mereka belum cukup ikhlas. Kita semua pasti ingin bisa ikhlas,
agar bisa menjalani kehidupan dengan senyum, mudah memaafkan, mengasihi sesama
dan alam semesta. Tak perlu
berhitung-hitung dengan Penguasa Alam Semesta, karena kita adalah angka nol.
Seberapapun dikalikan nol akan menjadi nol. Itulah sejatinya kita, dari nol dan
akan kembali menjadi nol. Harta benda dan lainnya adalah sarana untuk mengasah
keikhlasan – karena itu dianjurkan mengejar kekayaan –makin banyak yang kita
gunakan dengan ikhlas (karena Allah) makin besar angka yang berhasil kita
kumpulkan. Tetapi biarlah Malaikat Allah yang menghitung. Angka bukan urusan kita.
Urusan kita adalah terus mengasah keikhlasan. Ikhlas tanpa syarat apapun. Insya
Allah, kita selamat sampai seberang.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar