Kamis, 05 Juli 2012


 PADA AWALNYA...

Bismillaahirrohmaanirrohiim...

Assalaamu’alaikum,
Alhamdulillaahirobbil’aalamiin washsholaatu wassalaamu alaa rosulillaahi ‘ajma’iin.
Saudariku, sesama muslimah, ijinkan aku berbagi cerita tentang perjalanan rohaniku mengenal Islam dan pemahamanku tentang nilai-nilai ajarannya. Bila pemahamanku keliru mohon ahwat meluruskan, bila ada yang kurang mohon lengkapkan. Semoga melalui blog ini aku dapat menimba ilmu, memperluas wawasan, menjalin silaturahim dengan sesama muslimah di seluruh dunia. Amin.
Billaahi taufik wal hidayah wassalaamu’alaikum.



BELAJAR MEMBACA AL QUR’AN

Aku lahir dari keluarga muslim. Seingatku, aku mulai belajar mengaji pada usia 10 tahun, ketika itu aku kelas empat SD. Tempatku belajar mengaji adalah sebuah masjid di tengah lingkungan perumahan tentara, orang menyebutnya Asrama Tentara Kuanino, di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. 

Saat belajar mengaji pada masa itu adalah saat menyenangkan. Setiap sore sekitar jam empat aku dan teman-teman datang ke masjid. Saling berlomba tiba lebih dulu di masjid, menyalami Ustad dan berebut tempat di tengah. Para murid biasanya duduk membentuk garis lengkung dan Ustad duduk di hadapan mereka, berhadapan dengan murid yang di tengah. Sehingga bila ditarik garis dari posisi  Ustad dengan posisi murid  di ujung kiri dan kanan, maka terbentuk juring dengan posisi Ustad sebagai titik pusat sudut juring. Makin banyak murid yang datang makin besar sudut juring, hingga dapat membentuk setengah lingkaran. Kami para murid menganggap posisi di tengah garis lengkung juring adalah tempat teraman, karena bisa dipastikan tidak akan mendapat giliran pertama. Murid yang duduk paling ujunglah yang biasanya mendapat giliran pertama. Ada semacam perasaan gugup yang menghinggapi mereka yang mendapat giliran pertama. Entah mengapa.

Kami mulai belajar mengenal nama-nama huruf Hijaiyah, dari alif sampai ya. Kemudian membaca dari kitab Juzz ‘Amma. Belakangan kudengar metode seperti itu disebut Metode Bagdadiyah. Tak pernah kudengar penjelasan mengapa disebut demikian, yang jelas Ustad memberi contoh membaca kalimat per kalimat atau ayat per ayat jika ayatnya pendek, kemudian kami para murid menirukannya. Jika salah, Ustad akan memberi contoh lagi sampai kami menirukan dengan benar.  Tahap berkutnya setiap murid diberi kesempatan membaca. Masing-masing beberapa ayat, tergantung pada banyaknya murid yang hadir. Makin sedikit murid, makin banyak ayat yang bisa dibaca. Setiap kata, kalimat, tanda baca, panjang pendek, tebal tipis, dengung atau tidak dengung dicermati oleh Ustad. Setiap kesalahan selalu langsung diperbaiki dengan contoh yang benar. Murid yang lain diharuskan menyimak, mencermati setiap kesalahan agar mereka tidak mengulangi kesalahan yang sama. Sampai tiba giliran mereka membaca dan seterusnya.
Selain mengajarkan membaca Al Qur’an, Ustad juga mengajarkan nilai-nilai ajaran Islam. Hampir selalu melalui kisah-kisah teladan para Nabi, terutama Rasulullah Muhammad SAW. Kami semua sangat menyukai kisah-kisah itu. Kadang kami meminta Ustad mengulang kisah tertentu untuk menyegarkan suasana. Sehingga tak heran kami sampai hafal beberapa kisah atau sebagiannya.
Setelah tamat Juzz ‘Amma kami semua boleh lanjut belajar membaca Al Qur’an 30 juzz. Ketika itu kami menyebutnya Qur’an Besar. Juzz ‘Amma adalah Qur’an Kecil. Kebanyakan murid yang belajar dengan Qur’an Besar sudah SMP, termasuk aku. Pada masa itu ada anggapan Qur’an Kecil adalah bacaan anak SD. Artinya, mereka sudah harus tamat Juzz ‘Amma maksimal pada saat tamat SD. Kemudian harus tamat Qur’an Besar maksimal pada saat tamat SMP. Adalah hal memalukan jika sudah SMP tetapi bacaannya masih Qur’an Kecil dan sudah SMA tetapi masih belajar membaca. Begitulah norma yang disepakati. Sehingga untuk menghindari malu, semua murid yang sudah SMP ‘dinaikkan’ ke kelompok belajar membaca Qur’an Besar, meskipun kemampuannya tidak semua memadai. Ada yang bacaannya sudah baik dan benar, hingga mendekati bacaan Ustad. Sebagian besar yang lain sedang-sedang saja dengan sedikit kesalahan di sana-sini. Sisanya beberapa orang yang masih lebih banyak kesalahan. Mereka bahkan belum paham mengapa salah dan akibatnya selalu mengulang kesalahan yang sama.

Aku termasuk kategori yang terakhir. Hingga tamat SMP kemudian masuk SMA, meskipun belum bisa membaca Qur’an dengan baik dan benar aku berhenti belajar membaca. Baru bertahun-tahun kemudian aku belajar lagi sampai benar-benar bisa membaca denngan fasih dan tartil.
Begitulah kisah awalku tentang belajar membaca Al Qur’an, sekaligus sebagai gambaran awal bagaimana aku mulai mengenal Islam. Akan kulanjutkan pada kesempatan berikutnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar