PADA AWALNYA...
Bismillaahirrohmaanirrohiim...
Bismillaahirrohmaanirrohiim...
Assalaamu’alaikum,
Alhamdulillaahirobbil’aalamiin
washsholaatu wassalaamu alaa rosulillaahi ‘ajma’iin.
Saudariku,
sesama muslimah, ijinkan aku berbagi cerita tentang perjalanan rohaniku
mengenal Islam dan pemahamanku tentang nilai-nilai ajarannya. Bila pemahamanku
keliru mohon ahwat meluruskan, bila ada yang kurang mohon lengkapkan. Semoga
melalui blog ini aku dapat menimba ilmu, memperluas wawasan, menjalin
silaturahim dengan sesama muslimah di seluruh dunia. Amin.
Billaahi
taufik wal hidayah wassalaamu’alaikum.
BELAJAR
MEMBACA AL QUR’AN
Aku lahir dari
keluarga muslim. Seingatku, aku mulai belajar mengaji pada usia 10 tahun,
ketika itu aku kelas empat SD. Tempatku belajar mengaji adalah sebuah masjid di
tengah lingkungan perumahan tentara, orang menyebutnya Asrama Tentara Kuanino,
di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Saat belajar
mengaji pada masa itu adalah saat menyenangkan. Setiap sore sekitar jam empat
aku dan teman-teman datang ke masjid. Saling berlomba tiba lebih dulu di
masjid, menyalami Ustad dan berebut tempat di tengah. Para murid biasanya duduk
membentuk garis lengkung dan Ustad duduk di hadapan mereka, berhadapan dengan
murid yang di tengah. Sehingga bila ditarik garis dari posisi Ustad dengan posisi murid di ujung kiri dan kanan, maka terbentuk
juring dengan posisi Ustad sebagai titik pusat sudut juring. Makin banyak murid
yang datang makin besar sudut juring, hingga dapat membentuk setengah
lingkaran. Kami para murid menganggap posisi di tengah garis lengkung juring
adalah tempat teraman, karena bisa dipastikan tidak akan mendapat giliran
pertama. Murid yang duduk paling ujunglah yang biasanya mendapat giliran
pertama. Ada semacam perasaan gugup yang menghinggapi mereka yang mendapat
giliran pertama. Entah mengapa.
Kami mulai belajar
mengenal nama-nama huruf Hijaiyah, dari alif sampai ya. Kemudian membaca dari
kitab Juzz ‘Amma. Belakangan kudengar metode seperti itu disebut Metode
Bagdadiyah. Tak pernah kudengar penjelasan mengapa disebut demikian, yang jelas
Ustad memberi contoh membaca kalimat per kalimat atau ayat per ayat jika
ayatnya pendek, kemudian kami para murid menirukannya. Jika salah, Ustad akan
memberi contoh lagi sampai kami menirukan dengan benar. Tahap berkutnya setiap murid diberi
kesempatan membaca. Masing-masing beberapa ayat, tergantung pada banyaknya
murid yang hadir. Makin sedikit murid, makin banyak ayat yang bisa dibaca. Setiap
kata, kalimat, tanda baca, panjang pendek, tebal tipis, dengung atau tidak
dengung dicermati oleh Ustad. Setiap kesalahan selalu langsung diperbaiki
dengan contoh yang benar. Murid yang lain diharuskan menyimak, mencermati
setiap kesalahan agar mereka tidak mengulangi kesalahan yang sama. Sampai tiba
giliran mereka membaca dan seterusnya.
Selain
mengajarkan membaca Al Qur’an, Ustad juga mengajarkan nilai-nilai ajaran Islam.
Hampir selalu melalui kisah-kisah teladan para Nabi, terutama Rasulullah
Muhammad SAW. Kami semua sangat menyukai kisah-kisah itu. Kadang kami meminta
Ustad mengulang kisah tertentu untuk menyegarkan suasana. Sehingga tak heran
kami sampai hafal beberapa kisah atau sebagiannya.
Setelah tamat
Juzz ‘Amma kami semua boleh lanjut belajar membaca Al Qur’an 30 juzz. Ketika
itu kami menyebutnya Qur’an Besar. Juzz ‘Amma adalah Qur’an Kecil. Kebanyakan
murid yang belajar dengan Qur’an Besar sudah SMP, termasuk aku. Pada masa itu
ada anggapan Qur’an Kecil adalah bacaan anak SD. Artinya, mereka sudah harus
tamat Juzz ‘Amma maksimal pada saat tamat SD. Kemudian harus tamat Qur’an Besar
maksimal pada saat tamat SMP. Adalah hal memalukan jika sudah SMP tetapi
bacaannya masih Qur’an Kecil dan sudah SMA tetapi masih belajar membaca. Begitulah
norma yang disepakati. Sehingga untuk menghindari malu, semua murid yang sudah
SMP ‘dinaikkan’ ke kelompok belajar membaca Qur’an Besar, meskipun kemampuannya
tidak semua memadai. Ada yang bacaannya sudah baik dan benar, hingga mendekati
bacaan Ustad. Sebagian besar yang lain sedang-sedang saja dengan sedikit
kesalahan di sana-sini. Sisanya beberapa orang yang masih lebih banyak
kesalahan. Mereka bahkan belum paham mengapa salah dan akibatnya selalu
mengulang kesalahan yang sama.
Aku termasuk
kategori yang terakhir. Hingga tamat SMP kemudian masuk SMA, meskipun belum
bisa membaca Qur’an dengan baik dan benar aku berhenti belajar membaca. Baru
bertahun-tahun kemudian aku belajar lagi sampai benar-benar bisa membaca
denngan fasih dan tartil.
Begitulah kisah
awalku tentang belajar membaca Al Qur’an, sekaligus sebagai gambaran awal
bagaimana aku mulai mengenal Islam. Akan kulanjutkan pada kesempatan
berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar