Kami sekeluarga baru pindah ke Mataram, ibukota Provinsi
Nusa Tenggara Barat. Ketika itu anakku yang ke dua, Seto, baru lulus TK dan akan
masuk SD. Satu minggu setelah kepindahan kami, sore hari kuantarkan Seto
mendaftar belajar mengaji di masjid. Masjid itu di seberang jalan, persis
berhadapan dengan rumah yang kami tinggali. Masjid Al Huda, namanya,
satu-satunya masjid di komplek perumahan kami. Jalan yang memisahkannya dari
rumah kami adalah jalan utama komplek. Tak heran, jalan ini cukup ramai oleh
lalu-lalang kendaraan. Sehingga harus ekstra hati-hati, memastikan situasi aman
dari arah kiri dan kanan saat menyeberang.
Bangunan utama masjid Al Huda berbentuk segi empat berukuran
10 X 10 meter persegi. Di sisi Utara, Timur dan Selatan terdapat teras selebar empat
meter. Pintu masuk ke halaman masjid ada
dua. Pintu utama di Utara, adalah pintu yang diutamakan bagi kaum laki-laki. Pintu
ke dua di Timur, adalah pintu yang dianjurkan bagi kaum perempuan. Tujuannya
agar tidak bersinggungan antara laki-laki dan perempuan ketika melewati pintu
yang sama.
Aku dan Seto melewati pintu utama, karena pintu itu sudah di
hadapan kami begitu sampai di seberang jalan. Tempat belajar mengaji di teras
Selatan, jadi kami langsung ke arah kiri melewati teras Timur, kemudian belok
kanan. Sampailah kami di teras Selatan.
Di teras Selatan, seorang Ustad sedang menyimak bancaan
seorang santri. Santri-santri lainnya, semua anak-anak dalam kisaran usia tujuh
hingga 12 tahun, sedang menulis di meja kecil masing-masing. Satu dua anak ada
yang bersenda gurau, namun langsung diam ketika ditegur oleh Ustad. Kutunggu
sampai Ustad selesai menyimak bacaan santrinya.
“Assalamu’alaikum,” aku mendekat sambil mengucap salam.
“Wa alaikum salam warahmatullah wa barokaatuh,” semua santri
turut menjawab salamku.
“Maaf, Ustad, saya mengganggu. Saya mau mendaftarkan anak
saya ikut belajar mengaji di sini.”
“Oh, ndak apa, Bu. Boleh, boleh. Siapa namanya?”
“Namanya Seto.” Aku memberi isyarat kepada anakku untuk
menyalami dan mencium tangan Ustad.
“Sudah kelas berapa, Seto?” tanya Ustad.
Seto menjawab : “Satu...”
“Baru masuk kelas satu SD, Ustad,” tambahku.
“Oo, begitu. Sudah bisa mengaji?” tanya Ustad lagi.
“Belum. Baru mau mulai sekarang,” jawabku.
“Baek, kalo begitu Seto silakan duduk dulu di situ, nanti
mengaji dengan Ustad ya,” kata Ustad. Ia kemudian mengambilkan sebuah meja
kecil untuk Seto dan ditempatkan di barisan terdepan. Di sebelah Seto duduk seorang
santri laki-laki. Di mejanya ada Buku Iqro’ 1. Setelah memperkenalkan Seto
kepada santri lainnya, Ustad melanjutkan kegiatan menyimak bacaan santri hingga
seluruhnya mendapat giliran.
Aku menjauh, duduk di ujung teras, bersandar pada tiang.
Seto tadi berpesan agar aku menungguinya hingga usai. Anakku ini masih
malu-malu bertemu dengan teman-teman barunya di lingkungan baru. Jadi aku menungguinya
hingga usai. Sampai hari ke tiga aku terus menungguinya. Sehingga cukup bagiku
untuk memerhatikan dan menyimpulkan bahwa kelompok belajar mengaji ini diikuti
oleh delapan santri yang dibimbing oleh satu orang guru. Metode yang dipakai adalah Metode Iqro’ dengan
gabungan sistem privat dan klasikal. Sistem privat diterapkan untuk menyimak
bacaan santri seorang demi seorang, sistem klasikal diterapkan saat mengulang
hafalan doa harian. Sistem BCM ( Bermain-Cerita-Menyanyi) belum diterapkan. Sang
Ustad, guru mengaji ini adalah marbot dan mu’azin masjid. Satu guru banding
delapan santri adalah rasio yang masih ideal dan efektif.
Karena itu aku agak heran ketika pada hari ke empat,
sebelum pelajaran mengaji dimulai, Ustad
menawariku membantunya membimbing anak-anak belajar mengaji. Ketika kutanyakan alasannya, dia mengatakan karena dia juga masih kuliah, seringkali dia
tidak bisa mengajar, sehingga perlu ada guru lain yang bisa menggantikan. Aku
mengatakan akan mempertimbangkan tawarannya dan berjanji memberikan jawaban
esoknya.
Esoknya, pada hari ke lima anakku bergabung dengan kelompok
belajar mengaji di masjid Al Huda, aku berpakaian lebih rapi, datang lebih awal
untuk mendengar beberapa arahan dan petunjuk dari Ustad, kemudian ikut membimbing
anak-anak belajar mengaji. ***
Asalamualaikum wr.wb
BalasHapusNama gw Aziz. Menurut gw hal diatas sudah cukup baik. Tapi akan lebih baik lagi jika mereka para santri diberitahu dan
contoh kenapa gw ngaji? buat apa sih gw ngaji? apa yang gw dapet dari ngaji?
karena gw disuruh ortu dari kecil? karena ngaji itu dapet pahala? atau karena gw pengen tahu kebenaran2 allah?
yang kalo gw cari tahu tentang itu gw akan makin dekat dengan kebenaran yang berarti dekat dengan allah? atau
gw pengen tahu kenapa gw begini? kenapa dunia seperti ini? Dengan begitu permasalahan yang dimiliki oleh pak ustad tsb.
akan teratasi.
karena tanpa diberitahukan lagi mereka akan belajar sendiri meskipun ustad sedang tidak ada. dengan
diberi petunjuk surat mana yang mereka pelajari bahkan dibahas oleh mereka sendiri. Bagaimana dengan memberi contoh?
yang berarti lu harus ngerti dulu konsep al-quran, sejarahnya, hikmahnya, dan hal2 lain yang berkaitan.
perlihatkan pada mereka kebenaran yang indah, sesungguhnya, bukan hanya ceramah, mengajak ngaji. But, Tell them
what is inside the holy quran. Why is it so important? All the phase - all the level of human to be pure theyself once
again like when they born. Since it is what Nabi Muhammad Saw did. You will find his way. Truth reflecting your true.
Wassalamualaikum wr.wb
Terima kasih atas masukan bung Azis, insya Allah kulalukan.
Hapus