Selasa, 10 Juli 2012

MULAI MENGAJAR DENGAN IQRO'

Kami sekeluarga baru pindah ke Mataram, ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat. Ketika itu anakku yang ke dua, Seto, baru lulus TK dan akan masuk SD. Satu minggu setelah kepindahan kami, sore hari kuantarkan Seto mendaftar belajar mengaji di masjid. Masjid itu di seberang jalan, persis berhadapan dengan rumah yang kami tinggali. Masjid Al Huda, namanya, satu-satunya masjid di komplek perumahan kami. Jalan yang memisahkannya dari rumah kami adalah jalan utama komplek.  Tak heran, jalan ini cukup ramai oleh lalu-lalang kendaraan. Sehingga harus ekstra hati-hati, memastikan situasi aman dari arah kiri dan kanan saat menyeberang.

Bangunan utama masjid Al Huda berbentuk segi empat berukuran 10 X 10 meter persegi. Di sisi Utara, Timur dan Selatan terdapat teras selebar empat meter.  Pintu masuk ke halaman masjid ada dua. Pintu utama di Utara, adalah pintu yang diutamakan bagi kaum laki-laki. Pintu ke dua di Timur, adalah pintu yang dianjurkan bagi kaum perempuan. Tujuannya agar tidak bersinggungan antara laki-laki dan perempuan ketika melewati pintu yang sama. 

Aku dan Seto melewati pintu utama, karena pintu itu sudah di hadapan kami begitu sampai di seberang jalan. Tempat belajar mengaji di teras Selatan, jadi kami langsung ke arah kiri melewati teras Timur, kemudian belok kanan. Sampailah kami di teras Selatan.

Di teras Selatan, seorang Ustad sedang menyimak bancaan seorang santri. Santri-santri lainnya, semua anak-anak dalam kisaran usia tujuh hingga 12 tahun, sedang menulis di meja kecil masing-masing. Satu dua anak ada yang bersenda gurau, namun langsung diam ketika ditegur oleh Ustad. Kutunggu sampai Ustad selesai menyimak bacaan santrinya.
“Assalamu’alaikum,” aku mendekat sambil mengucap salam.
“Wa alaikum salam warahmatullah wa barokaatuh,” semua santri turut menjawab salamku.
“Maaf, Ustad, saya mengganggu. Saya mau mendaftarkan anak saya ikut belajar mengaji di sini.”
“Oh, ndak apa, Bu. Boleh, boleh. Siapa namanya?”
“Namanya Seto.” Aku memberi isyarat kepada anakku untuk menyalami dan mencium tangan Ustad.
“Sudah kelas berapa, Seto?” tanya Ustad.
Seto menjawab : “Satu...”
“Baru masuk kelas satu SD, Ustad,” tambahku.
“Oo, begitu. Sudah bisa mengaji?” tanya Ustad lagi.
“Belum. Baru mau mulai sekarang,” jawabku.
“Baek, kalo begitu Seto silakan duduk dulu di situ, nanti mengaji dengan Ustad ya,” kata Ustad. Ia kemudian mengambilkan sebuah meja kecil untuk Seto dan ditempatkan di barisan terdepan. Di sebelah Seto duduk seorang santri laki-laki. Di mejanya ada Buku Iqro’ 1. Setelah memperkenalkan Seto kepada santri lainnya, Ustad melanjutkan kegiatan menyimak bacaan santri hingga seluruhnya mendapat giliran.

Aku menjauh, duduk di ujung teras, bersandar pada tiang. Seto tadi berpesan agar aku menungguinya hingga usai. Anakku ini masih malu-malu bertemu dengan teman-teman barunya di lingkungan baru. Jadi aku menungguinya hingga usai. Sampai hari ke tiga aku terus menungguinya. Sehingga cukup bagiku untuk memerhatikan dan menyimpulkan bahwa kelompok belajar mengaji ini diikuti oleh delapan santri yang dibimbing oleh satu orang guru.  Metode yang dipakai adalah Metode Iqro’ dengan gabungan sistem privat dan klasikal. Sistem privat diterapkan untuk menyimak bacaan santri seorang demi seorang, sistem klasikal diterapkan saat mengulang hafalan doa harian. Sistem BCM ( Bermain-Cerita-Menyanyi) belum diterapkan. Sang Ustad, guru mengaji ini adalah marbot dan mu’azin masjid. Satu guru banding delapan santri adalah rasio yang masih ideal dan efektif. 

Karena itu aku agak heran ketika pada hari ke empat, sebelum  pelajaran mengaji dimulai, Ustad menawariku membantunya membimbing anak-anak belajar mengaji.  Ketika kutanyakan alasannya, dia mengatakan  karena dia juga masih kuliah, seringkali dia tidak bisa mengajar, sehingga perlu ada guru lain yang bisa menggantikan. Aku mengatakan akan mempertimbangkan tawarannya dan berjanji memberikan jawaban esoknya.

Esoknya, pada hari ke lima anakku bergabung dengan kelompok belajar mengaji di masjid Al Huda, aku berpakaian lebih rapi, datang lebih awal untuk mendengar beberapa arahan dan petunjuk dari Ustad, kemudian ikut membimbing anak-anak belajar mengaji. ***







2 komentar:

  1. Asalamualaikum wr.wb
    Nama gw Aziz. Menurut gw hal diatas sudah cukup baik. Tapi akan lebih baik lagi jika mereka para santri diberitahu dan
    contoh kenapa gw ngaji? buat apa sih gw ngaji? apa yang gw dapet dari ngaji?
    karena gw disuruh ortu dari kecil? karena ngaji itu dapet pahala? atau karena gw pengen tahu kebenaran2 allah?
    yang kalo gw cari tahu tentang itu gw akan makin dekat dengan kebenaran yang berarti dekat dengan allah? atau
    gw pengen tahu kenapa gw begini? kenapa dunia seperti ini? Dengan begitu permasalahan yang dimiliki oleh pak ustad tsb.
    akan teratasi.
    karena tanpa diberitahukan lagi mereka akan belajar sendiri meskipun ustad sedang tidak ada. dengan
    diberi petunjuk surat mana yang mereka pelajari bahkan dibahas oleh mereka sendiri. Bagaimana dengan memberi contoh?
    yang berarti lu harus ngerti dulu konsep al-quran, sejarahnya, hikmahnya, dan hal2 lain yang berkaitan.
    perlihatkan pada mereka kebenaran yang indah, sesungguhnya, bukan hanya ceramah, mengajak ngaji. But, Tell them
    what is inside the holy quran. Why is it so important? All the phase - all the level of human to be pure theyself once
    again like when they born. Since it is what Nabi Muhammad Saw did. You will find his way. Truth reflecting your true.

    Wassalamualaikum wr.wb

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas masukan bung Azis, insya Allah kulalukan.

      Hapus